Saturday, October 4, 2014

The Other Side, "Indonesia Towards Democracy" ; suatu tinjauan.

Oleh: Hasan Sadeli

Sejak Indonesia mengalami fase peralihan panjang dari orde baru ke reformasi, telah terjadi 5 kali pergantian kepemimpinan yang kesemuanya dilegitimasi dari dan oleh agen reformasi. Selanjutnya, perubahan mendasar dalam konstitusi negara kita yang mengatur dan memungkinkan rakyat mempunyai kedaulatan dalam memilih pemimpinnya secara langsung dianggap capaian menuju negara yang lebih demokratis. Dalam kurun waktu lebih dari 15 tahun ber reformasi, Indonesia telah mengalami 5 kali pergantian presiden mulai dari Habibi, Gusdur, Megawati, SBY, serta Jokowi Dodo. Dua nama terakhir merupakan pemimpin yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Dalam tulisan ini, penulis berusaha mengetengahkan sisi lain dari demokrasi yang telah kadung dianggap sebagai narasi besar dari proses menuju perbaikan-perbaikan disegala bidang. Oleh karena adanya hasrat kuat dalam mewacanakan perubahan pasca orde baru, maka tumbuhlah keinginan untuk berdaulat, itu sebabnya, demokrasi yang menjamin kebebasan cocok diletakan sebagai katalisator untuk menjamin hak-hak rakyat. 
Meskipun pada gilirannya banyak kalangan merasa bahwa orde reformasi tidak lebih baik dari orde baru. Kalangan grass root menganalogikan kemudahan bekerja saat masa orde baru yang tidak bisa dicapai oleh orde reformasi, menjadi anti klimaks bila tidak segera dijawab dengan kinerja nyata pemerintah hari ini. Karena bagaimana mungkin suatu sistem dianggap buruk kemudian pengganti yang dipilih malah lebih buruk. Inilah setidaknya yang luput dari pandangan kita pada umumnya, bahwa perubahan itu menuntut kepahitan dalam waktu yang tidak singkat. Yang melegakan ialah bahwa kemajuan dalam dimensi kehidupan bernegara menuju kearah pendewasaan baik dalam budaya sosial maupun budaya politik. 
Jika objeknya ialah demokrasi, maka sangat wajar apabila pendewasaan dalam kerangka demokrasi saat ini dianggap lebih baik dari masa-masa sebelumnya. Namun muncul pertanyaan tentang apakah ekspektasi yang kita tumpahkan terhadap kaum reformis serta kita yang mau tidak mau sebagai pengikutnya selama ini telah cukup membayar hal-hal yang juga redup dari kalkulasi founding father reformasi? 

Reformasi Tapi Tidak Reformatif.

Alih-alih menghasilkan capaian yang lebih baik, proses menuju demokrasi pun belum apa-apa sudah harus dibayar mahal dengan rentetan kasus sosial politik serta ekonomi yang terekam dalam memori kolektif bangsa Indonesia ; seperti lepasnya tim-tim, konflik sosial berbau sektarian, korupsi dalam bentuk yang baru, serta cost belanja negara yang membengkak lewat lahirnya perimbangan daerah pasca sentralisasi ke desentralisasi. Belum lagi hajat demokrasi yang selama sepuluh tahun terakhir ternyata dianggap menelan biaya terlalu tinggi yang menjadi beban negara sehingga belakangan terbit RUU pilkada yang oleh banyak kalangan dianggap telah mencabut hak rakyat. Pasca terbitnya RUU tersebut orang dengan mudah menganggap bahwa rakyat telah dikhianati, bermunculan kicauan dari banyak kalangan seperti ramalan akan terjadinya social distrus atau penurunan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahnya, lalu dengan kiasan kata seperti "pemimpin yang lahir dari rakyat itu dipilih oleh rakyat, bukan malah pemimpin yang dipilih oleh wakilnya". Padahal wakil rakyatpun sudah cukup refresentatif karena memiliki legitimasi dari rakyatnya. terlepas dari semua opini yang berkembang, bukan kapasitas tulisan ini untuk membahas lebih jauh masalah yang masih aktual tersebut. itu hanya bagian kecil dari narasi besar perjalanan sebuah bangsa yang sedang menapaki jalnnya menuju konsep ideal sesuai harapan-harapannya sejak lebih dari 15 tahun lalu, yakni saat seluruh elemen mahasiswa bersama tokoh reformasi mempelopori gerakan untuk melepaskan diri dari jeratan orde baru. Bung Hatta pernah menjelaskan secara eksplisit dalam "Demokrasi Kita" tentang hakikat demokrasi yang sesuai karakteristik bangsa Indonesia sehingga tidak bisa disamakan dengan demokrasi pada umumnya yang dianut negara-negara barat. Soekarno pernah menerapkan sistem demokrasi terpimpin, sebagai alternatif dari sistem parlementer yang umumnya mengakibatkan banyak ketidakstabilan dalam pemerintahan dan telah dicontohkan oleh Sjahrir, Amir Sjarifudin diawal masa kemerdekaan. Demokrasi terpimpin mendapat kritik tajam karena mengarah pada gaya otoriter, malah muncul demokrasi semu ala orde baru yang dipraktikan selama 32 tahun, yang pada kesempatan lain akan dibahas lebih dalam. Jelas bahwa demokrasi bukanlah produk yang baru dikenal bangsa Indonesia. Lewat persfektif historis, kita akan melihat bagaimana demokrasi serta penterapannya dari sejak orde lama sampai sekarang. Cita-cita reformasi bisa dibilang telah kehilangan pegangannya, karena meskipun dalam tataran teori maupun praktik telah terjadi perubahan, namun toh gaya yang sama seperti saat para jendral berkuasa di masa orde baru tetap ada dalam tunggangan yang berbeda. Kita tentu tidak ingin agenda besar reformasi ditunggangi orang yang itu-itu juga. Disisi lain kita patut bersyukur bahwa fase peralihan panjang ini tidak menuntut terlalu banyak korban. Menerapkan suatu sistem yang datangnya dari ruang yang berbeda seperti sistem demokrasi memang tidak mudah. Amerika butuh berpuluh-puluh tahun untuk menjadi sebuah negara demokrasi yang mapan. Juga di beberapa negara eropa lainnya yang memiliki banyak kemiripan dengan negara adidaya tersebut. Uniknya, di Indonesia demokrasi selalu menemukan bentuk-bentuknya sendiri. Setidaknya kita masih percaya bahwa demokrasi kita ialah demokrasi pancasila, meski butuh penelaahan dalam menguji serta memahaminya secara komfrehensif. Perubahan sistem yang bersifat total maupun siklis barangkali akan membuat bingung para pengamat, lebih-lebih pengamat luar negeri dalam mengkaji aspek-aspek yang mempengaruhi perubahan-perubahan struktur dan fenomena politik di indonesia. Dilain sisi, perubahan-perubahan tersebut sekilas membuat kita sampai pada hipotesa bahwa Indonesia seperti memiliki reserve dari setiap sistem yang dianutnya. Apapun, inilah wajah demokrasi kita. Wajah unik yang bisa berubah dengan cepat seiring dinamika yang terjadi dan sejarah telah membuktikannya.Dilain sisi, perubahan-perubahan tersebut sekilas membuat kita sampai pada hipotesa bahwa Indonesia seperti memiliki reserve dari setiap sistem yang dianutnya. Apapun, inilah wajah demokrasi kita. Wajah unik yang bisa berubah dengan cepat seiring dinamika yang terjadi dan sejarah telah membuktikannya.

*Penulis adalah Mahasiswa Sejarah Pasca Sarjana UI, aktivis PKC PMII Provinsi Banten.

No comments:

Post a Comment