Friday, October 24, 2014

MENYOAL REFORMA AGRARIA DI BANTEN

Oleh: Jayen Muhammad

Indonesia merupakan negara agrais, sumber daya alamnya begitu kaya dan mempesona, dari Sabang sampai Maraoke memiliki struktur agraria produktif yang kini banyak dimanfaatkan sebagai sumber kekayaan dan pendapatan nasional.

Salah satu daerah agraris di Indonesia yang perlu diperhatikan adalah Banten. Jika kita mencermati hamparan Provinsi yang telah berumur empat belas tahun ini, tentulah melihat secara jelas hamparan pesawahan yang begitu luas, perkebunan yang sangat kaya serta pesisir pantai yang menjalur. Bahkan Banten sebagai pintu gerbang yang mengakses pulau Sumatera dan Pulau Jawa. Namun, pengelolaan kekayaan sumber daya alam yang ada di provinsi Banten tidak berarah pada asal lokalitas, kebijakan pemerintah belum memperhatikan kearifan lokal. Hal itu diukur dari kebijakan reforma agraria yang tidak implementatif serta industrialisasi secara besar-besaran.

Reforma agraria mempunyai pengertian penataan kembali (atau pembaruan) struktur kepemilikan, penguasaan dan penggunaan tanah/wilayah, demi kepentingan petani kecil, penyakap, dan buruh tani tak bertanah. Prinsipnya: Tanah untuk penggarap.
Jika kita melihat kenyataan, rasanya, yang terjadi di provinsi Banten amat kontradiktif dengan prinsip dan cita-cita reforma agraria. Pasalnya, petani selalu terhambat dengan persoalan kepemilikan tanah, mereka masih menjadi buruh tani dengan bercocok tanam diladang yang bukan miliknya. Belum lagi dibenturkan dengan sengketa lahan--baik itu konflik vertikal maupun horizontal--yang pada akhirnya petani selalu saja dikalahkan oleh pemodal. Seperti misalnya kasus sengketa lahan di Bayah Kabupaten lebak, Cibaliung Kabupaten Pandeglang dan bahkan persoalan sengketa tanah masyarakat yang diklaim oleh oknum TNI di Gorda kabupaten Serang yang sampai sekarang belum juga terselesaikan.

Kedaulatan Petani Sebagai Kearifan Lokal

Menyoal agraria, memang bukan hanya persoalan tanah semata, melainkan semua aspek sumber daya alam. Hal itu tertera dalam UUPA tahun 1960 yang secara jelas menerangkan bahwa di dalam Negara Republik Indonesia yang susunan kehidupan rakyatnya, termasuk per-ekonomiannya, terutama masih bercorak agraris, bumi, air dan ruang angkasa, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang amat penting untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur.
Penting kiranya kita fokus terhadap petani sebagai simbol kearifan lokal yang harus dikembangkan, mengingat keberadaannya semakin terisolir oleh industrialisasi. Bercocok tanam, merupakan aktivitas sebagian besar masyarakat Banten secara turun temurun yang dewasa ini makin ditinggalkan lantaran pekerjaan petani dianggap tidak menjanjikan. Hasil bertani bahkan tidak bisa menutupi kebutuhan sehari-hari karena minimnya akses produksi serta distribusi. Sehingga para petani lebih memilih untuk menjadi buruh di pabrik-pabrik.

Penulis merasa terenyuh melihat realitas ini, padahal, kebijakan reforma agraria telah damanifestasikan melalui UUPA tahun 1960, yang kemudian pada tahun 2001 lahir ketetapan MPR nomor: IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Namun, implementasi atas regulasi yang telah ada tidak optimal, ditambah pemerintah kerap memelintir undang-undang turunannya sesuai dengan kepentingan politik golongan. Sehingga tujuan reforma agraria belum tercapai.

Di tahun 2014 pemerintah provinsi Banten baru menetapkan Peraturan Daerah nomor 5 tahun 2014 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
Perda tersebut, meskipun lambat, paling tidak mampu memberikan angin segar bagi petani sebagai kearifan lokal yang harus terus menerus diperjuangkan kedaulatannya. Penulis berharap pemerintah dapat mengimplementasikan Perda yang dimaksud dalam kebijakan, mewujudkan kedaulatan petani dan kedaulatan pangan dalam politik anggaran setidaknya melalui dua hal. Pertama persoalan landreform, pemangku kebijakan harus memperhatikan lahan bagi petani, dengan memfasilitasi tanah untuk bercocok tanam serta penghapusan hak-hak asing dan konsesi kolonial atas tanah. Kepemilikan tanah garapan merupakan kedaulatan bagi petani, serta ruh dari reforma agraria. Kedua, pemerintah harus lebih serius memperhatikan akses reform melalui penyediaan pupuk bagi petani, irigasi serta akses distribusi.
Tentu keseriusan pemerintah dalam menyusun kebijakan partisipatif menjadi perhatian banyak pihak, terlebih saat ini pemerintah daerah sedang merumuskan RAPBD provinsi Banten tahun 2015. Masyarakat harus terus menjadi kontrol atas kebijakan reforma agraria di Banten, agar keadilan serta kemakmuran petani dapat terpenuhi.


*Penulis adalah pengurus PKC PMII Provinsi Banten.

No comments:

Post a Comment