Oleh: Jayen Muhammad
Beberapa
waktu lalu, rakyat telah melaksanakan hajat besar, pesta demokrasi. Pemilihan legislative
yang diselenggarakan pada 9 April kemarin, nampaknya, tidak memberikan pengaruh
besar bagi masa depan bangsa. Pasalnya, ikhtiar penyelenggara pemilu langsung
secara bersih dan sportif belum tercipta secara menyeluruh, masih banyak partai
politik yang menghalalkan segala cara dalam bermanuver.
Bagi
penulis, perhelatan politik di tahun 2014 ini sangat menentukan masa depan
bangsa dalam meraih kedaulatan rakyat secara utuh dan menyeluruh. Tidak berlebih
jika percaturan politik nasionalsaat ini
merupakan barometer bagi pencapaian pembangunan: baik atau tidaknya masa
depan bangsa Indonesia, diukur dari integritas pertarungan politik saat ini—baik
ditingkat daerah maupun nasional.
Lalu,
hajat besar rakyat dalam pemilu legislative kemarin berhasilkah? Dalam system parliamantari of treshould mengatur
partai politik harus menghasilkan suara 20% jika ingin lolos dan berhak mengusung
calon presiden dari partai politik. Aturan itu, selain merampingkan jumlah
partai politik, tentu memperketat kompetisi bagi parpol dalam meraih suara
rakyat dari, kurang lebih, 250 juta rakyat Indonesia. Manuver pun dimainkan,
berbagai strategi dirancang sedemikian rupa. Alih-alih kompetisi secara cerdas
dan edukatif, malah yang terjadi, ibarat Banteng yang kelaparan, menyerang
apapun dan siapapun. Itulah gambaran pertarungan caleg dalam merebut kursi
parpol di tingkat daerah maupun pusat. Tidak sedikit yang menerobos rambu-rambu
konstitusi dengan cara melanggar aturan main, misalnya, praktek “money politik”. Alhasil, secara nilai,
pemilihan legislative tidak bisa dikatakan berhasil, alias gagal.
Banten, Antara Rakyat dan Penguasa
Gonjang
ganjing persoalan hukum dan politik yang menjerat orang nomor satu di provinsi
Banten, Hj. Ratu Atut Chosiyah, dan kolega lainnya membuat perjalanan
pembangunan di daerah yang baru saja berumur empat belas tahun ini semakin
terlambat. Setidaknya, ada beberapa factor yang menghambat akselerasi
pembangunan di tanah kesultanan ini. Pertama,
menyoal politik anggaran. Praktek penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) oleh pemerintah kerap
terjadi, dibuktikan dengan praktek korupsi yang merebak di provinsi Banten,
hingga menyeret nama-nama pelaku yang juga berkuasa. Kebijakan pemerintah dalam
melaksanakan anggaran, belum mengarah pada kebijakan partisipatif yang
mendasari pada kepentingan masyarakat secara signifikan. Kedua, menyoal politik kekuasaan. Secara normatif, masyarakat
pantas berbahagia atas mulai terbongkarnya satu persatu pelaku tindak pidana
korupsi di provinsi Banten, kasus hukum yang menjerat gubernur Banten dan
beberapa lainnya, jelas harus diselesaikan secara hukum sebagaimana mestinya,
dimensi hukum harus ditegakkan sebagaimana mestinya. Pasca ditetapkannya Rano
Karno sebagai plt Gubernur provinsi Banten, iklim politik semakin memanas. Konstelasi
politik yang semakin meningkat di tanah kesultanan ini, tentu memungkinkan
lengahnya elit dalam membenahi kebijakan publik, hal itu berimplikasi pula
terhadap peran masyarakat sebagai control
social, luput melakukan kontrol bagi kebijakan sosial kemasyarakatan. Semua
fokus tergiring pada perebutan kekuasaan politik ketimbang implikasi terhadap stabilitas
dan kesejahteraan sosial di provinsi Banten. Juntrungnya sebuah kemandekan
pembangunan.
Demokrasi di Banten
Menyoal
praktek demokrasi, rasanya, hampir semua pikiran yang ada didalam kepala kita
masing-masing merasa limbung dan ironi atas praktiknya dilapangan. Kebebasan sebagai
ruh demokrasi dimaknai tanpa batas. Sehingga wajar jika demokrasi, dalam
praktiknya, mengarah pada liberalitas yang paradoks, mendeviasi nilai
kedaulatan. Seperti yang sebelumnya disebutkan penulis di atas, hajat besar
demokrasi dalam pelaksanaan pemilu kemarin menggambarkan rapuhnya kesadaran
sosial. Bagaimana tidak, kerapuhan sosial itu diakibatkan oleh cengkraman
pemodal yang begitu kokoh menghegemoni politik, menggunakan uang sebagai nilai pelicin.
Di Banten sendiri, “money politik”
kerap dijadikan instrument bagi kemulusan parpol dalam meraih kursi. Praktik semacam
itu jelas melanggar dan tentu tidak mengedukasi masyarakat terhadap pentingnya demokrasi,
implisitnya, kesadaran masyarakat tidak terbangun dengan baik. Malah yang
terjadi, yang merebak dalam pola piker masyarakat “siapa yang kasih uang, itu
yang saya pilih”, uang dijadikan driving force dalam memberikan partisipasi
pemilu, bukan atas kesadaran sebagai warga Negara yang baik. Maka, calon-calon
pemimpin yang mempunyai niatan baik untuk merubah, mau tidak mau mengikuti arus
trend yang telah mengkontaminasi
pemikiran masyarakat, politik uang. Mencalonkan diri sebagai legislative maupun
eksekutif, mengeluarkan rogoh kocek yang tidak sedikit. Karena modalnya lebih
besar dari gajih pokoknya selama masa jabatan, akhirnya ketika terpilih menjadi
pemangku kebijakan, alih-alih membenahi kebijakan malah yang terjadi
mengamankan kantong sendiri supaya balik modal. Ironis.
*April 2014
No comments:
Post a Comment