Monday, June 30, 2014

Kegagalan Pesta Demokrasi

Oleh: Jayen Muhammad
Beberapa waktu lalu, rakyat telah melaksanakan hajat besar, pesta demokrasi. Pemilihan legislative yang diselenggarakan pada 9 April kemarin, nampaknya, tidak memberikan pengaruh besar bagi masa depan bangsa. Pasalnya, ikhtiar penyelenggara pemilu langsung secara bersih dan sportif belum tercipta secara menyeluruh, masih banyak partai politik yang menghalalkan segala cara dalam bermanuver.
Bagi penulis, perhelatan politik di tahun 2014 ini sangat menentukan masa depan bangsa dalam meraih kedaulatan rakyat secara utuh dan menyeluruh. Tidak berlebih jika percaturan politik nasionalsaat ini  merupakan barometer bagi pencapaian pembangunan: baik atau tidaknya masa depan bangsa Indonesia, diukur dari integritas pertarungan politik saat ini—baik ditingkat daerah maupun nasional.

Lalu, hajat besar rakyat dalam pemilu legislative kemarin berhasilkah? Dalam system parliamantari of treshould mengatur partai politik harus menghasilkan suara 20% jika ingin lolos dan berhak mengusung calon presiden dari partai politik. Aturan itu, selain merampingkan jumlah partai politik, tentu memperketat kompetisi bagi parpol dalam meraih suara rakyat dari, kurang lebih, 250 juta rakyat Indonesia. Manuver pun dimainkan, berbagai strategi dirancang sedemikian rupa. Alih-alih kompetisi secara cerdas dan edukatif, malah yang terjadi, ibarat Banteng yang kelaparan, menyerang apapun dan siapapun. Itulah gambaran pertarungan caleg dalam merebut kursi parpol di tingkat daerah maupun pusat. Tidak sedikit yang menerobos rambu-rambu konstitusi dengan cara melanggar aturan main, misalnya, praktek “money politik”. Alhasil, secara nilai, pemilihan legislative tidak bisa dikatakan berhasil, alias gagal.

Banten, Antara Rakyat dan Penguasa
Gonjang ganjing persoalan hukum dan politik yang menjerat orang nomor satu di provinsi Banten, Hj. Ratu Atut Chosiyah, dan kolega lainnya membuat perjalanan pembangunan di daerah yang baru saja berumur empat belas tahun ini semakin terlambat. Setidaknya, ada beberapa factor yang menghambat akselerasi pembangunan di tanah kesultanan ini. Pertama, menyoal politik anggaran. Praktek penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) oleh pemerintah kerap terjadi, dibuktikan dengan praktek korupsi yang merebak di provinsi Banten, hingga menyeret nama-nama pelaku yang juga berkuasa. Kebijakan pemerintah dalam melaksanakan anggaran, belum mengarah pada kebijakan partisipatif yang mendasari pada kepentingan masyarakat secara signifikan. Kedua, menyoal politik kekuasaan. Secara normatif, masyarakat pantas berbahagia atas mulai terbongkarnya satu persatu pelaku tindak pidana korupsi di provinsi Banten, kasus hukum yang menjerat gubernur Banten dan beberapa lainnya, jelas harus diselesaikan secara hukum sebagaimana mestinya, dimensi hukum harus ditegakkan sebagaimana mestinya. Pasca ditetapkannya Rano Karno sebagai plt Gubernur provinsi Banten, iklim politik semakin memanas. Konstelasi politik yang semakin meningkat di tanah kesultanan ini, tentu memungkinkan lengahnya elit dalam membenahi kebijakan publik, hal itu berimplikasi pula terhadap peran masyarakat sebagai control social, luput melakukan kontrol bagi kebijakan sosial kemasyarakatan. Semua fokus tergiring pada perebutan kekuasaan politik ketimbang implikasi terhadap stabilitas dan kesejahteraan sosial di provinsi Banten. Juntrungnya sebuah kemandekan pembangunan.

Demokrasi di Banten
Menyoal praktek demokrasi, rasanya, hampir semua pikiran yang ada didalam kepala kita masing-masing merasa limbung dan ironi atas praktiknya dilapangan. Kebebasan sebagai ruh demokrasi dimaknai tanpa batas. Sehingga wajar jika demokrasi, dalam praktiknya, mengarah pada liberalitas yang paradoks, mendeviasi nilai kedaulatan. Seperti yang sebelumnya disebutkan penulis di atas, hajat besar demokrasi dalam pelaksanaan pemilu kemarin menggambarkan rapuhnya kesadaran sosial. Bagaimana tidak, kerapuhan sosial itu diakibatkan oleh cengkraman pemodal yang begitu kokoh menghegemoni politik, menggunakan uang sebagai nilai pelicin. Di Banten sendiri, “money politik” kerap dijadikan instrument bagi kemulusan parpol dalam meraih kursi. Praktik semacam itu jelas melanggar dan tentu tidak mengedukasi masyarakat terhadap pentingnya demokrasi, implisitnya, kesadaran masyarakat tidak terbangun dengan baik. Malah yang terjadi, yang merebak dalam pola piker masyarakat “siapa yang kasih uang, itu yang saya pilih”, uang dijadikan driving force dalam memberikan partisipasi pemilu, bukan atas kesadaran sebagai warga Negara yang baik. Maka, calon-calon pemimpin yang mempunyai niatan baik untuk merubah, mau tidak mau mengikuti arus trend yang telah mengkontaminasi pemikiran masyarakat, politik uang. Mencalonkan diri sebagai legislative maupun eksekutif, mengeluarkan rogoh kocek yang tidak sedikit. Karena modalnya lebih besar dari gajih pokoknya selama masa jabatan, akhirnya ketika terpilih menjadi pemangku kebijakan, alih-alih membenahi kebijakan malah yang terjadi mengamankan kantong sendiri supaya balik modal. Ironis.

Lalu apa yang harus kita perbuat atas realitas ini? Hal yang paling fundamen adalah membangun kesadaran. Tentu dari berbagai elemen, pemerintah, partai politik maupun masyarakat. Pertama, pemerintah sebagai eksekutor dan legislator memperketat implementasi konstitusi. Kedua, partai politik sebagai komando bagi perjalanan politik, harus konsisten melakukan upaya-upaya pembenahan kaderisasi dan memberikan edukasi politik terhadap masyarakat. Pembenahan kaderisasi di masing-masing parpol itu penting, agar menghasilkan pemimpin yang berkualitas serta mempunyai integritas. Dan, hal yang sangat vital, memberikan edukasi politik terhadap masyarakat, bukan malah sebaliknya. Ketiga, masyarakat sebagai pemeran utama dalam demokrasi (civil society), jangan mau dibodohi dan menerima “pelicin politik” dari partai manapun. Jika kita memilih pemimpin karena dikasih uang, secara tidak langsung, telah memberikan tiket bagi calon pemimpinnya untuk melakukan korupsi. Wassalam

*April 2014

No comments:

Post a Comment