Saturday, May 3, 2014

Mendidik: Memberikan Tauladan yang Baik

Oleh: Jayen Muhammad

Mendidik itu memberikan contoh yang baik terhadap peserta didik, bukan sekedar mentransformasi ilmu pengetahuan. Ungkap Kiai Hasbullah beberapa waktu lalu saat saya mengikuti dzikir, ratibul hadad yang rutin diselenggarakan setiap minggu malam di pesantren Riyadhul Awamil, Banten.

Abah Hasbu, begitu panggilan akrab KH. Hasbullah, adalah salah seorang kiai yang mengembangkan nilai-nilai tasawuf di Banten, beliau adalah penganut thoriqot Al-baqiyatussholihah, dan tentunya ia merupakan kiai pengamal ahlussunah wal jama'ah.

Konsep mendidiknya luar biasa, mengasuh, merawat, mencerdaskan santri tidak hanya cerdas secara kognisi melainkan juga cerdas secara spiritual. Beliau sering berpesan kepada santrinya bahwa akhlak merupan ihwal yang terpenting dimiliki oleh setiap orang, apalagi kalangan terdidik. Karena akhlak kedudukannya diatas ilmu pengetahuan. Jika suatu bangsa mengalami degradasi moral, itu merupakan tanda-tanda kehancuran.

Kiai Hasbullah bukan sekedar guru besar bagi santrinya, melainkan bagi masyarakat diberbagai daerah, nasihat-nasihatnya selalu menjadi panutan untuk masyarakat dan setiap orang diberbagai daerah yang rutin berkonsultasi spiritual kepada kiai sederhana itu.

Memang, Abah Hasbu bukan kiai parlente, tapi konsepsinya mengenai berbagai aspek kehidupan, tidaklah kalah oleh para intelektual dan cendikiawan modern. Ia peka terhadap kondisi kekinian, juga terhadap perkembangan sosial bangsa Indonesia. Sikapnya yang "tawadlu" dan sederhana, mencerminkan kebijaksanaannya dalam mendidik.

Liberalisasi Pendididikan: Menggiring sesuatu yang Formal Menjadi Formalitas.

Cerita kiai Hasbu diatas, merupakan salah satu contoh pendidikan non formal dipesantren, yang tidak ada aturan formalnya, standar kompetensi dan kompetensi dasarnya jelas tak tertulis. Tetapi sumbangsih pemupukan moral dan spiritual dunia pesantren yang tidak terlegitimasi itu patut diperhitungkan oleh bangsa ini. santri yang khusyu' belajar di dunia pesantren, teruji kualitas dan pengamalan spiritualitasnya. Dan ketika mereka berbaur ke masyarakat, jebolan pesantren yang tak berlegalitas itu ternyata mampu memberikan transformasi sosial.

Mengenai dunia pendidikan formal, menjadi kompleks ketika kita dihadapkan pada realitas sosial yang saat ini terjadi. Tidak sedikit dari praktisi pendidikan yang mengkomoditaskannya, pendidikan dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk kepentingan material yang bersifat pribadi, tujuan-tujuan individu tersebut misalnya memperkaya diri dan sebagainya. Hal semacam itu kerap terjadi pada lembaga-lembaga pendidikan.

Secara umum, realitas peserta didik dan kondisi sosial masyarakat menjadi barometer keberhasilan pendidikan. Berhasil atau tidaknya pendidikan bagi bangsa, dilihat dari aspek moralitas.

Boleh jadi kecerdasan kognisi telah berkembang seiring dengan berkembangnya jaman, atas modernisasi. Tetapi, dewasa ini persoalan moralitas, kalau boleh diistilahkan, telah mendapat "raport merah". Degradasi moral spiritual telah dipertontonkan oleh peserta didik, bahkan kalangan terdidik yang kerap melakukan tindakan paradoks, perilaku amoral yang tidak mencerminkan kalangan terdidik. Atas kondisi tersebut, akhirnya dapat dikonklusikan bahwa tujuan pendidikan yang disebutkan dalam UU Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, masih jauh dari harapan. Sekolah, terkadang hanya diorientasikan untuk mendapat ijazah formal agar mudah mendapat kerja. Sehingga dunia pendidikan hanya menjadi formalitas yang tanpa nilai, jauh dari tujuan esensial.

Bangsa Indonesia memang harus terus berbenah, pasalnya, pertumbuhan pendidikan di Indonesia belum signifikan, masih banyak di daerah-daerah yang belum menikmati fasilitas pendidikan. Bahkan tidak sedikit pula yang tidak melanjutkan sekolah sesuai dengan standarisasi yang ditargetkan pemerintah. Dan pembenahan itu dimulai dengan perlawanan terhadap liberalisasi pendidikan yang telah mengkomoditaskannya sehingga kabur dari tujuan substansi pendidikan.

Sementara, menurut saya, kalangan pesantren lah yang melakoni pendidikan secara substansial. Yang praktiknya memanusiakan manusia, mendidik dengan memberikan tauladan yang baik bagi peserta didik. Mendidik dengan hati, tidak akan menjadikan pendidikan sekedar formalitas yang tanpa nilai. Wassalam.

3 comments: