Tuesday, May 6, 2014

Diskursus Negara Islam di Indonesia (Upaya NU Melawan Gerakan Eksrimis di Indonesia)

Oleh: Jayen Muhammad-Karmen
Perdebatan tentang perlu tidaknya menggunakan hukum Islam secara formal yang berfungsi menggantikan hukum nasional di Indonesia sangat penting untuk dicermati. Bagi kelompok yang berupaya membentuk negara Islam di Indonesia, formalisasi Islam adalah bentuk implementasi syariat Islam secara kaffah sesuai dengan anjuran Al-Qur'an dan Sunnah. Bagi mereka, pembangkangan terhadap pembentukan negara Islam sama halnya dengan penolakan terhadap syariat Islam itu sendiri. Penerapan syariat Islam secara formal diyakini sebagai jalan keluar bagi permasalahan dan kekacauan yang terjadi di Indonesia, bukan dengan prinsip demokrasi atau pancasilanya yang mereka anggap sistem thagut.

Jika meniliki sejarah, wacana penerapan syariat Islam sudah berlangsung lama. Bermula dari ijtihad Ibnu Taimiyah tentang keharusan bagi umat Islam untuk kembali memurnikan syariat Islam sebagai fokus pembahasan fiqih politik, menggeser topik imamah dan kesatuan ummah yang menjadi fokus perhatian para ahli fiqih sebelumnya. Gagasan penegakan syariat tersebut mendapat penerimaan yang beragam, diantaranya dari kalangan Ikhwabul Muslimin di Mesir. Bagi kelompok ini, penegakan syariat baru akan tegak jika hukum Islam menjadi hukum resmi sebuah negara (daulah islamiyah). Abul A'la Al-Maududi salah satu ulama pendukung sistem khilafah berpendapat, penegakan syariat Islam berdasarkan firman Allah swt yang berbunyi: "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu sekalian." (QS al-Nisa:59).

Menurut Al-Maududi, pengertian ulil amri disini berarti pemerintah yang menegakan syariat Islam dan Sunnah Nabi sebagai landasan kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan begitu, mendirikan negara Islam adalah sebuah keniscayaan. Sementara menurut Rasyid Ridha, seorang pembaharu Mesir, konsep penegakan syariat Islam dan bentuk negara Islam masih harus dikaji lebih dalam. Pasalnya, sejauh ini masih belum ada konsep baku yang mengatur secara terperinci bagaimana sistem pemerintahan Islam harus diterapkan dalam sebuah negara yang memiliki konteks historis dan sosial yang berbeda. Bagi Ridha, kalaupun suatu negara secara resmi menggunakan hukum Islam sebagai landasan filosofinya, maka peluang untuk mengembangkan gagasan lebih lanjut oleh pihak lain dan bagi proses ideologisasi pembentukan negara Islam yang lebih kuat dengan melakukan ijtihad dan ijma.

Farag Fouda, seorang cendikiawan Mesir kontemporer, dalam bukunya yang berjudul "Kebenaran yang Hilang," menuliskan, orang-orang yang tulus di antara jajaran juru dakwah Islam modern sudah menyadari bahwa mereka saat ini memanf tengah menghadapi kondisi masyarakat yang tidak sama lagi dengan apa yang dijumpai para pendahulu. Mereka juga tahu bahwa demokrasi dalam maknanya yang modern, yaitu pemerintahan dari rakyat untuk rakyat, sama sekali tidak bertentangan dengan Islam. Mereka juga mengakui bahwa ijtihad-ijtihad mereka yang percaya pada demokrasi dan perlunya sistem perwakilan, pemilihan langsung dan tidak langsung, tidak mungkin bertentangan dengan esensi Islam dan semangat kebebasan yang terkandung di dalamnya.

NU dan Kekuatan NKRI

Di Indonesia, sebagai negara yang bersuku-suku dan berbagai pulau, tentu sangat rentan terhadap masalah-masalah sosial, kultural, maupun keagamaan. Sebagai negara yang multi kultural, tentu saja harus dipersatukan dengan konsep universal yang akomodatif, tidak bertendensi terhadap satu golongan semata, melainkan harus mampu mengkombinir selur aspek ideologi yang ada. Pancasila adalah asas pemersatu yang sudah final, tidak harus diperdebatkan lagi. Pemahaman itulah yang tidak dipahami oleh kalangan ekstrimis-- yang mengklaim dirinya sebagai kalangan "islamis"-- selalu berupaya untuk mendirikan negara Islam di Indonesia. Padahal, pancasila sama sekali tidak mengurangi nilai-nilai keislaman itu sendiri. Pancasila tidak menentang syariat Islam, justru sebaliknya, mengkombinir nilai-nilai Islam agar bisa dijalankan oleh pemeluknya.

Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi sosial keagamaan yang sejak tahun 1926 berdiri, tentu selalu mengawal dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), tidak pernah berdiam melihat segala ketimpangan sosial-keagamaan yang berimplikasi pada kebobrokan nasionalisme. Semakin menjamurnya paham-paham ekstrim keagamaan di negara Indonesia, tentu ini menjadi tugas bersama, khususnya bagi kalangan nahdliyin dalam meramu dan polarisasi sebuah gerakan untuk mempersatukan NKRI secara utuh dan damai.
Pada Mukhtamar NU pertengahan 1930-an di Banjarmasin, NU tidak mempersyaratkan negara Islam. Negara Hindia Belanda adalah suatu negara yang dapat memberikan kesempatan warga NU untuk menjalankan ketentuan syariat Islam dan memberi ruang kepada agama lain untuk beribadah sesuai dengan keyakinannya. Fakta historis inilah yang sering dikemukakan sebagai argumen bahwa NU tidak menghendaki konsepsi yang diijtihadkan oleh Ibnu Taimiyah mengenai "khilafah".

Kesetiaan NU terhadap bangsa Indonesia dan pancasila sebagai ideologi bangsa diperkukuh saat setelah Munas Alim Ulama NU pada 1983, menyetujui dokumen hubungan Islam dan pancasila, NU menyatakan NKRI berdasar pancasila merupakan bentuk final, yang tidak mendeviasi nilai-nilai dan syariat Islam. Sikap nasionalisme NU jelas sangat berperan dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia, salah satu manifestasi itu ketika KH. Hasyim Asy'ari mengeluarkan Resolusi Jihad NU pada tanggal 22 Oktober 1945, yang pada akhirnya menyulut geliat para santri dan masyarakat untuk berperang melawan penjajah pada 10 November 1945. Maka sangatlah pantas jika NU merupakan bagian dari kekuatan NKRI.
Hal itu merupakan nilai histori. Sejarah perjuangan ulama yang harus terefleksi oleh kita sebagai generasi muda nahdliyin untuk terus memperjuangkan Islam Indonesia, tentunya dengan semangat Ahlussunah Wal Jama'ah yang moderat, tidak mengesampingkan esensi kemanusiaan. Kemajemukan bangsa Indonesia hanya bisa ditengahi oleh sikap toleransi, tidak dengan memaksakan kehendak untuk ikut terhadap salah satu golongan semata. Toleransi umat beragama perlu dimiliki oleh semua kalangan, demi terjaganya keutuhan NKRI.


*Terbit di Buletin Aswaja PW NU Provinsi Banten*

No comments:

Post a Comment