Oleh: Jayen
Muhammad-Karmen
Perdebatan tentang
perlu tidaknya menggunakan hukum Islam secara formal yang berfungsi
menggantikan hukum nasional di Indonesia sangat penting untuk dicermati. Bagi
kelompok yang berupaya membentuk negara Islam di Indonesia, formalisasi Islam
adalah bentuk implementasi syariat Islam secara kaffah sesuai dengan anjuran
Al-Qur'an dan Sunnah. Bagi mereka, pembangkangan terhadap pembentukan negara
Islam sama halnya dengan penolakan terhadap syariat Islam itu sendiri. Penerapan
syariat Islam secara formal diyakini sebagai jalan keluar bagi permasalahan dan
kekacauan yang terjadi di Indonesia, bukan dengan prinsip demokrasi atau
pancasilanya yang mereka anggap sistem thagut.
Jika meniliki sejarah, wacana penerapan syariat
Islam sudah berlangsung lama. Bermula dari ijtihad Ibnu Taimiyah tentang
keharusan bagi umat Islam untuk kembali memurnikan syariat Islam sebagai fokus
pembahasan fiqih politik, menggeser topik imamah dan kesatuan ummah yang
menjadi fokus perhatian para ahli fiqih sebelumnya. Gagasan penegakan syariat
tersebut mendapat penerimaan yang beragam, diantaranya dari kalangan Ikhwabul
Muslimin di Mesir. Bagi kelompok ini, penegakan syariat baru akan tegak jika
hukum Islam menjadi hukum resmi sebuah negara (daulah islamiyah). Abul A'la
Al-Maududi salah satu ulama pendukung sistem khilafah berpendapat, penegakan
syariat Islam berdasarkan firman Allah swt yang berbunyi: "Hai orang-orang
yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara
kamu sekalian." (QS al-Nisa:59).
Menurut Al-Maududi, pengertian ulil amri disini
berarti pemerintah yang menegakan syariat Islam dan Sunnah Nabi sebagai
landasan kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan begitu, mendirikan negara
Islam adalah sebuah keniscayaan. Sementara menurut Rasyid Ridha, seorang
pembaharu Mesir, konsep penegakan syariat Islam dan bentuk negara Islam masih
harus dikaji lebih dalam. Pasalnya, sejauh ini masih belum ada konsep baku yang
mengatur secara terperinci bagaimana sistem pemerintahan Islam harus diterapkan
dalam sebuah negara yang memiliki konteks historis dan sosial yang berbeda.
Bagi Ridha, kalaupun suatu negara secara resmi menggunakan hukum Islam sebagai
landasan filosofinya, maka peluang untuk mengembangkan gagasan lebih lanjut
oleh pihak lain dan bagi proses ideologisasi pembentukan negara Islam yang
lebih kuat dengan melakukan ijtihad dan ijma.
Farag Fouda, seorang cendikiawan Mesir
kontemporer, dalam bukunya yang berjudul "Kebenaran yang Hilang,"
menuliskan, orang-orang yang tulus di antara jajaran juru dakwah Islam modern
sudah menyadari bahwa mereka saat ini memanf tengah menghadapi kondisi
masyarakat yang tidak sama lagi dengan apa yang dijumpai para pendahulu. Mereka
juga tahu bahwa demokrasi dalam maknanya yang modern, yaitu pemerintahan dari
rakyat untuk rakyat, sama sekali tidak bertentangan dengan Islam. Mereka juga
mengakui bahwa ijtihad-ijtihad mereka yang percaya pada demokrasi dan perlunya
sistem perwakilan, pemilihan langsung dan tidak langsung, tidak mungkin bertentangan
dengan esensi Islam dan semangat kebebasan yang terkandung di dalamnya.
NU dan
Kekuatan NKRI
Di Indonesia, sebagai negara yang bersuku-suku
dan berbagai pulau, tentu sangat rentan terhadap masalah-masalah sosial,
kultural, maupun keagamaan. Sebagai negara yang multi kultural, tentu saja
harus dipersatukan dengan konsep universal yang akomodatif, tidak bertendensi
terhadap satu golongan semata, melainkan harus mampu mengkombinir selur aspek
ideologi yang ada. Pancasila adalah asas pemersatu yang sudah final, tidak
harus diperdebatkan lagi. Pemahaman itulah yang tidak dipahami oleh kalangan
ekstrimis-- yang mengklaim dirinya sebagai kalangan "islamis"--
selalu berupaya untuk mendirikan negara Islam di Indonesia. Padahal, pancasila
sama sekali tidak mengurangi nilai-nilai keislaman itu sendiri. Pancasila tidak
menentang syariat Islam, justru sebaliknya, mengkombinir nilai-nilai Islam agar
bisa dijalankan oleh pemeluknya.
Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi sosial
keagamaan yang sejak tahun 1926 berdiri, tentu selalu mengawal dan
mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), tidak pernah berdiam
melihat segala ketimpangan sosial-keagamaan yang berimplikasi pada kebobrokan
nasionalisme. Semakin menjamurnya paham-paham ekstrim keagamaan di negara
Indonesia, tentu ini menjadi tugas bersama, khususnya bagi kalangan nahdliyin
dalam meramu dan polarisasi sebuah gerakan untuk mempersatukan NKRI secara utuh
dan damai.
Pada Mukhtamar NU pertengahan 1930-an di
Banjarmasin, NU tidak mempersyaratkan negara Islam. Negara Hindia Belanda
adalah suatu negara yang dapat memberikan kesempatan warga NU untuk menjalankan
ketentuan syariat Islam dan memberi ruang kepada agama lain untuk beribadah
sesuai dengan keyakinannya. Fakta historis inilah yang sering dikemukakan
sebagai argumen bahwa NU tidak menghendaki konsepsi yang diijtihadkan oleh Ibnu
Taimiyah mengenai "khilafah".
Kesetiaan NU terhadap bangsa Indonesia dan
pancasila sebagai ideologi bangsa diperkukuh saat setelah Munas Alim Ulama NU
pada 1983, menyetujui dokumen hubungan Islam dan pancasila, NU menyatakan NKRI
berdasar pancasila merupakan bentuk final, yang tidak mendeviasi nilai-nilai
dan syariat Islam. Sikap nasionalisme NU jelas sangat berperan dalam
memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia, salah satu manifestasi itu ketika
KH. Hasyim Asy'ari mengeluarkan Resolusi Jihad NU pada tanggal 22 Oktober 1945,
yang pada akhirnya menyulut geliat para santri dan masyarakat untuk berperang
melawan penjajah pada 10 November 1945. Maka sangatlah pantas jika NU merupakan
bagian dari kekuatan NKRI.
Hal itu merupakan nilai histori. Sejarah
perjuangan ulama yang harus terefleksi oleh kita sebagai generasi muda
nahdliyin untuk terus memperjuangkan Islam Indonesia, tentunya dengan semangat
Ahlussunah Wal Jama'ah yang moderat, tidak mengesampingkan esensi kemanusiaan.
Kemajemukan bangsa Indonesia hanya bisa ditengahi oleh sikap toleransi, tidak
dengan memaksakan kehendak untuk ikut terhadap salah satu golongan semata.
Toleransi umat beragama perlu dimiliki oleh semua kalangan, demi terjaganya
keutuhan NKRI.
*Terbit di Buletin Aswaja PW NU Provinsi Banten*
No comments:
Post a Comment