Friday, August 4, 2017

Radikalisme Menghajar Generasi Muda

Oleh : Asep Najmutsakib

SEBAGAI negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar didunia, Indonesia mengemban amanah legitimasi yang kuat dalam upaya menginisiasi perdamaian. Indonesia memiliki wawasan Islam Nusantara yang mengedepankan harmoni sosial dengan untuk secara pro aktif terus menerus dalam mendialogkan narasi – narasi  ajaran keagamaan yang ramah, mengedepankan nilai – nilai humanis dan toleran, melindungi minoritas dalam konteks yang terjadi di lingkungan sosial dan budayanya.

Islam sudah masuk ke Indonesia sudah sejak abad ke-7 masehi. Menurut Wheatly dalam the golden, yang paling awal membawa seruan Islam ke Nusantara adalah para saudagar Arab, yang sudah membangun jalur perhubungan dagang dengan Nusantara jauh sebelum Islam datang. Dalam buku Atlas Walisongo, Agus Sunyoto menerangkan ada rentang waktu sekitar delapan abad sejak kedatangan awal Islam. Agama Islam di anut oleh penduduk pribumi Nusantara. Baru pada pertengahan abad ke 15 yaitu era dakwah Islam yang dipelopori oleh tokoh sufi yang dikenal dengan sebut walisongo, para tokoh yang memiliki berbagai karomah adikodrati. Islam diterima dengan cepat ke dalam asimilasi dan sinkretisme nusantara.

Animisme dan dinamisme merupakan kebudayaan yang lahir dari kepercayaan terhadap arwah atau benda – benda yang di anggap sakti, kebudayaan purba yang berhasil diislamkan. Bukti asimilasi lainnya dalam upaya mengislamkan anasir hindu adalah mengubah dan sekaligus menyesuaikan epos ramayana dan mahabrata yang begitu di sukai masyarakat pada waktu itu dengan ajaran islam. Dalam prosesnya “De-dewanisasi” menjadi “Humanisasi” demi tumbuhnya ketauhidan. Alur cerita lambat laut dirubah dengan nilai – nilai keislaman, ditandai dengan munculnya kelemahan dan kekurangan para dewa – dewa. Sejarah telah mengisahkan proses Islamisasi di Nusantara tidak dilakukan dengan peperangan, kekerasaan, atau menghilangkan adat lokalitas (kebudayaan) seperti yang terjadi dalam proses penaklukan Andalusia.

Multikulturalisme sudah menjadi identitas bangsa. Masyarakat hidup rukun dengan berbagai perbedaan kebudayaan dan iman. Saat ini multikulturalisme sedang di uji. Keberagamaan mulai dipertentangkan. Meningkatnya kejadian aksi teror dan perilaku radikal atas nama agama telah menciderai khazanah multikulturalisme bangsa ini. Pancasila sebagai faham pemersatu mulai diperdebatkan, UUD 45’ di anggap tak relevan, NKRI mulai dikuliti hingga Bhineka Tunggal Ika di singkirkan perlahan. menjadi hal anomali tersendiri karena banyak yang prilaku “bantahan” berasal dari kaum terdidik “Intelektual”. Kampus yang selama ini menjadi tempai persemaian insan yang berpandangan kritis, terbuka dan intelek ternyata tak bisa membendung radikalisme. Radikalisme berhasil menembus dinding pagar nasionalisme para mahasiswa. dari masa ke masa lingkungan kampus hampir selalu ada kelompok radikal baik ekstrem kanan maupun ekstrem kiri. Itu kah pemaknaan kebebasan yang relevan hari ini?

Milyaran anggaran pemerintah di gelontorkan untuk penumpasan faham dan tindak radikal. Kampus – kampus negeri amupun swasta berbenah dari mulai “Perangkat Lunak maupun “Perangkat Kasar” demi kualitas perbaikan sumberdaya manusia. Puluhan, ratusan, bahkan ribuan anak bangsa di biayai untuk menentut ilmu di luar negri, dengan biaya yang sangatlah tidak kecil berlangsung dari tahun ke tahun. Berhasil kah? gagalkah? yang bisa kita saksikan di berbagai media online atau pun cetak, TV swasta atau radio selalu terlihat dan terdengar tindakan teror atas nama agama menjadi trending topic.

Banyak organisasi kemahasiswaan bernafaskan Islam telah lahir di negara ini, yang terus konsisten merawat tradisi nilai – nilai keislaman khas Indonesia. yang tak bisa dipandang sebelah mata. Sering disebut dengan organisasi ekstra kampus. Tanpa biaya dari pemerintah tapi selalu tumbuh subur, mengisi kemederdekaan sesuai cita cita bangsa. Yang setiap kaderisasi menekankan bahwa Pancasila sudah final, Multikulturalisme merupakan identitas bangsa yang harus di jaga. Paradoks, saat niatan baik tak selalu menghasilkan respon yang baik pula. Aktifitasnya dipersempit, banyak kampus yang “melarang” aktifitas karena di anggap “mengganggu”. Berbanding lurus dengan meraka yang seakan terfasilitasi dengan jaringan transnasionalnya. Aktifitas organisasi ekstra di krangkeng, mahasiswa disubukan dengan tugas – tugas yang menjadikannya cenderung terlalu naif, polos karena tak terbiasa berfikir analitis serta kritis.

Maaf kami yang Muda, Gus ..

Hari Lahir Gus Dur (04 Agustus)

* Penulis adalah pengurus PKC PMII Banten

No comments:

Post a Comment