Monday, October 27, 2014

MUHARRAM 1436 H: DARI SPIRITUALITAS MENUJU MORALITAS

Oleh: Ridwan Muhajir

“Islam harus mengejar ketertinggalannya seribu tahun kedepan, bukan lagi waktunya terus-menerus beromantisme dengan masa lalu” (Soekarno).
Demikianlah kritik tentang islam yang disuarakan dengan lantang oleh Presiden pertama RI yang juga diberi gelar “Waliyyul Amri Al-Dharuri Bi Al-Syaukah”, oleh kalangan Nahdlatul Ulama (NU),

Mengutip pernyataan diatas mengenai romantisme masa lalu tentang kejayaan islam yg telah diberikan kepada para Nabi melalui mu'jijat yg diberikan oleh Allah SWT. Banyak sekali keistimewaan pada bulan Muharam. Diantaranya adalah : Peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad SAW, diselamatkannya perahu Nabi Nuh AS, Nabi Ibrahim AS dari panasnya Api yang membakar tubuhnya, Nabi Yunus AS setelah sekian waktu mendapat ujian berada di perut ikan, dipertemukannya kembali Nabi Adam AS dan Hawa, dan ditenggelamkannya Fir’aun sang penguasa dzalim beserta seluruh pengikutnya di laut merah hanya melalui satu kemu’jizatan yang diberikan Allah SWT berupa sebuah tongkat nabi Musa.

Allah pun telah menjadikan bulan Muharram sebagai salah satu dari empat bulan Haram (Muharram, Dzul Qa’dah, Dzul hijjah, Rajab). Bulan haram ini bermula dari warisan Nabi Ibrahim dan Ismail yang memberikan penghormatan sebagai bulan diharamkannya berperang. Ini untuk mengcounter culture orang Jahiliyah dulu yang menjadikan bulan haram sebagai bulan persembahan korban-korban untuk berhala-berhala yang mereka sembah.

Dari sudut apresiasi keagamaan, kenapa kita tidak mengambil pelajaran dari berbagai peristiwa dimasa lampau sebagai pijakan untuk memperbaiki pribadi kita maupun dalam konteks berbangsa & bernegara (Hubbul Wathon)? Adalah tindakan yang cerdas dan bijak bila di ujung pergantian tahun hijriyah ini, kita umat Islam mengadakan refleksi sebagai ajang introspeksi serta mengambil nilai-nilai moral dalam tataran kemasyarakatan untuk dijadikan spirit pengabdian kita secara total kepada Yang Maha Kuasa.
Islam merupakan agama universal (rahmatan lil alamin), mengatur semua aspek kehidupan dalam segala hal, baik dimensi horizontal, mengatur hubungan antar individu, individu dengan masyarakat, negara, lingkungan maupun dimensi vertikal yang mengatur individu dengan Tuhannya. sehingga tidak satupun aktifitas manusia yang tidak disentuh melalui pesan-pesan Al Qur’an (6:38), sekalipun tidak diterangkan secara detail.

Dengan prinsip hukum dan ajaran yang secara potensial dan subtansial termuat dalam kitab suci Alqur’an, umat manusia menjadikannya pedoman untuk diimplementasikan dalam amaliah sehari-hari. Untuk itu diperlukan beberapa hal mendasar bagi kita agar bisa mewujudkan keharmonisan, keseimbangan antara yang bersifat kesalehan individual dengan kesalehan sosial, antara spiritualitas pribadi dengan moralitas publik. Hal mendasar tersebut, supaya terwujud kemaslahatan pada tataran masyarakat secara menyeluruh seperti yang telah disyariatkan Allah SWT.

Orang Jawa khususnya baik kalangan muslim maupun non muslim, secara turun temurun, mengenal mo-limo (m-5) sebagai pelanggaran moral: Madon (zina), main (Judi), madat (mabuk/minuman keras) maling (mencuri) dan mateni (membunuh). Semua itu adalah kejahatan dan pelanggaran moral yang tidak pernah dibenarkan oleh siapapun, bahkan si pelanggarnya sendiri. Karena secara prinsip telah melanggar 5 hak dasar manusia seperti tersebut diatas.

Dalam realitas sosial tidak semua orang dapat terpenuhi atau mampu memenuhi hak-haknya. Hal itu terjadi karena ada sebagaian orang mengambil terlalu banyak dengan akibat orang lain tidak kebagian atau kebagian terlalu sedikit, atau tidak terkondisikan memperoleh haknya. Untuk itulah perlu konsep yang punya kekuatan lebih mengatur dan mengontrol keseimbangan agar hak-hak semua bisa tercapai. Konsep mendasar itu adalah ketakwaan dan kesalehan.

Sejak awal kenabian, Nabi Muhammad telah memberikan perhatian sangat besar terhadap hak-hak asasi manusia. Bangsa Quraisy masuk Islam dengan alasan tertarik dengan konsep Islam dalam memandang dan memperlakukan manusia pada posisi dan sikap yang setara. Setelah beliau hijrah ke Madinah segera beliau menerapkan program jangka panjang untuk menghapus segala macam bentuk diskriminasi dan ekslpoitasi terhadap manusia. Beliau segera memproklamirkan konsep HAM ketika berkhutbah didepan kaum muslimin pada waktu haji wada’ (perpisahan) yang berisi kurang lebihnya sebagai berikut “jiwamu, harta bendamu dan kehormatanmu adalah sesuci hari ini. Bertaqwalah kepada Allah dalam hal isteri-isterimu dan perlakukan yang baik kepada mereka, karena mereka adalah pasangan-pasanganmu dan penolong-penolongmu yang setia. Tak ada seorangpun yang lebih tinggi derajatnya kecuali berdasarkan atas ketakwaan dan keshalehannya. Semua manusia adalah keturunan Adam, dan Adam itu diciptakan dari tanah liat. Keunggulan itu bukan berarti orang Arab berada diatas orang non Arab, dan begitu pula orang non Arab diatas orang Arab. Keunggulan juga tidak dipunyai orang kulit putih dari kulit hitam dan begitu juga bukan orang kulit hitam diatas orang kulit putih. Keunggulan itu berdasar atas ketakwaannya.”

Dengan demikian, Islam menebarkan nilai-nilai kasih sayang dan kedamaian, serta mendorong manusia untuk memiliki kasadaran agar patuh, taslim dan mampu menjalin hubungan harmonis dalam konteks Habluminallah dan hablumina Nas, karena kemampuan untuk membangun dua bentuk hubungan inilah manusia menempati posisi fitrahnya sebagai makhluk mulia.

Untuk membangun dan meningkatkan harkat dan martabat kemanusiaan ini, bisa dimulai dengan mendidik dan memperbaiki individu, dengan berupaya memahami Islam secara benar dan komprehensif. Hal ini tidak bisa dilakukan dengan misalnya: hanya memilah ayat2 al Qur’an sesuai kesanggupan akal manusia (Al Fajr 6- 14), membuat suatu pekerjaan yang bertentangan dengan ajaran Alqur’an, menerima kebenaran sebagaian ayat dan menolak sebagaian yang lain, (An Nisa’10).

Berikutnya adalah mengamalkan ajaran Islam dengan menegakluruskan keadilan ditengah-tengah masyarakat (Iqamat al Adli fi al jama’ah). Ini membutuhkan pemikiran dan tindakan-tindakan konkrit dalam wilayah praktis kehidupan sosial. Jangan sampai ada proses inkonsistensi antara yang kita yakini benar namun kita tidak mau menegakkannya di tengah masyarakat, sehingga ketakwaan dan kesalehan yang komprehensif adalah kesalehan pribadi yang bukan minus kesalehan sosial. Diperlukan nyali untuk terus mau menegakkan keadilan dan kebenaran, entah melalui tangan/kekuasaan kita, lisan, atau yang paling lemah adalah menegakkannya melalui pengingkaran kemungkaran dengan hati saja.

Sikap optimisme yang ditunjukkan Nabi SAW penting untuk dijadikan pembelajaran ketika kita menghadapi krisis multidimensional seperti yang terjadi saat ini. Disamping itu, kebersamaan juga merupakan salah satu kunci keberhasilan mencapai perubahan.
Aktualisasi Makna Hijriyah

Dalam konteks sekarang ini, pemaknaan hijrah tentu bukan selalu harus identik dengan meninggalkan suatu wilayah seperti yang dilakukan oleh Rasulullah saw beserta kaum muhajirin, tetapi pemaknaan hijrah lebih kepada nilai-nilai dan semangat berhijrah itu sendiri, karena hijrah dalam arti seperti ini tidak akan pernah berhenti.

Imam Syafi’i pernah berkata: “Memang sebeanrnya zaman itu sugguh menakjubkan,s ekali waktu engkau akan mengalami keterpurukan, tetapi pada saat yang lain engkau memperoleh kejayaan”.

Sebagai refleksi Mari kita jadikan peralihan tahun sebagai momen untuk melihat kembali catatan yang mewarnai perjalanan hidup masa lalu, dengan melakukan renungan atas apa yang telah kita perbuat. Kita gunakan kesempatan ini untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas hidup di dunia dan akhirat kelak, dengan bercermin kepada nilai-nilai dan semangat hijrah dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat.
Seseorang mulia bukan karena apa yang dimilikinya tapi karena pengorbanannya untuk memberikan manfaat bagi orang lain.

No comments:

Post a Comment